KEUTAMAAN DZIKIR KEPADA ALLAH
Dzikir merupakan salah satu ibadah yang utama. Dzikir bermakna mengingat Allah SWT dalam segala hal dan kondisi.
Dalam Alquran, Allah berfirman;
فَاذۡكُرُوۡنِىۡٓ اَذۡكُرۡكُمۡ وَاشۡکُرُوۡا لِىۡ وَلَا تَكۡفُرُوۡنِ
“Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Ku serta janganlah (sekali-kali) kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS: al-Baqarah 152).
Dari ayat ini sebenarnya sudah mencakup perintah berdzikir sebanyak-banyaknya, adab atau etika berdzikir sebaik-baiknya, dan fadilah berdzikir setinggi-tingginya. Tetapi, rupanya masih dipandang belum cukup jelas oleh sebagian orang. Buktinya masih saja ada yang bertanya, “Mengapa setiap orang beriman diperintahkan untuk (senantiasa) mengingat Allah?”
Ibnu Al Qayyim dalam salah satu buku karyanya menulis, fadilah dzikir itu ada 80 macam. Semuanya penting kita ketahui. Namun, agar tidak bertele-tele, kita ambil saja lima fadilah di ataranya. Apa saja?
Pertama, dzikir dapat menghilangkan kesusahan, kesedihan, dan kegundahan dari hati. Dzikir dapat menghadirkan kesenangan, kegembiraan, kekuatan, dan kehidupan ke dalam hati. Ibnu Al Qayyim berkata, “Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Anda dapat bayangkan, bagaimana kondisi ikan itu bila tanpa air”.
Kedua, dzikir dapat mendekatkan diri kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya. Dzikir dapat mendorong hati orang beriman untuk selalu kembali kepada-Nya dalam segala situasi dan kondisi.
Ketiga, dzikir dapat menjadi penyebab bagi Allah untuk selalu mengingat setiap hamba-Nya yang berdzikir kepada-Nya. Ini bisa kita pahami dari firman Allah dalam surat al-Baqarah 152 di atas. Rasulullah SAW meriwayatkan firman Allah berikut, “Barang siapa mengingat-Ku dalam dirinya, (niscaya) Aku akan mengingat dia dalam diri-Ku. Dan, barang siapa mengingat-Ku dalam suatu kumpulan, (niscaya) Aku akan mengingat dia dalam suatu kumpulan yang lebih baik dari kumpulannya”.
Keempat, dzikir itu ibarat makanan bergizi bagi hati dan ruh. Anda dapat bayangkan, badan dapat saja “merana” bila tanpa makanan bergizi. Demikian pula hati dan ruh.